Mungkin matahari begitu marah pada bumi, hingga panas amarahnya terasa membakar tubuh. Meski hari itu masih jam tujuh pagi, namun sengatnya telah masuk ke celah-celah jaket dan membuat tubuhku banjir keringat. Global warming telah membuat kita tak mampu lagi menikmati kesejukan pagi. Ini adalah salah bumi yang seenaknya menebang serta membakar hutan tanpa henti dan tanpa regenerasi. Kemanakah kesejukan alamku pergi?
Mungkin burung, kodok dan jangkrik marah pada bumi, hingga mereka bersembunyi entah di mana. Tiap hari kucari suaranya bernyanyi, tapi yang kudapat hanya sunyi. Sejak persawahan berganti jadi perumahan, burung, kodok dan jangkrik menjadi makhluk yang susah ditemui, padahal aku sangat rindu pada suara mereka bersenandung. Kini alamku terasa begitu hampa. Ini adalah salah bumi yang merubah persawahan yang luas menjadi perumahan yang gersang. Kemanakah nyanyian alamku pergi?
Mungkin air marah pada bumi, sehingga berbondong-bondong mereka menyerang, menyergap dan membuat manusia panik pada bencana banjir. Bukan cuma harta benda yang lenyap, tapi nyawa orang tercinta pun ikut terenggut. Ini adalah salah bumi yang membuang sampah sembarangan dan menebang pepohonan penahan air tanpa henti. Kemanakah gemericik air sungai yang tenang di alamku pergi?
Mungkin anak-anak marah pada bumi, sehingga mereka mengurung diri di rumah dan bermain play station. Padahal dulu mereka berjingkrak, berkejaran dan meledak dalam tawa di lapangan rumput yang luas. Ada banyak permainan di sana, sepakbola, galaksin, kasti, enggrang, petak umpat, petak jongkok, petak batu, dampu gunung, taplak, lompat tali dan memanjat pohon. Tapi kini semua sibuk pada permainannya sendiri. Anak-anak menjadi individual, tak kenal permainan tradisional yang sebenarnya sangat bermanfaat mengajarkan anak menjadi kreatif dan mampu bersosialisasi dengan baik. Dalam permainan tradisional itu, anak-anak diajarkan bekerja sama dalam team, berjuang mencapai kemenangan dan menerima kekalahan. Dalam permainan modern seperti play station, maka pelajaran tentang arti bersosialisasi ini tidak akan didapat. Ini adalah salah bumi yang mengambil alih lapangan rumput yang hijau membentang, menebang pohon-pohon besar yang rindang dan merubah lahan itu menjadi pabrik kecap yang menambah polusi dan limbahnya mengotori bumi. Anak-anak tidak punya tempat bermain, kadang mereka harus menggunakan jalan raya untuk bermain bola dan layang-layang. Sungguh mengenaskan. Kemanakah gelak tawa alamku pergi?
Siapa yang patut disalahkan??? Semua orang merusak alam untuk kepentingannya sendiri. Mereka punya uang dan kekuasaan untuk merubah bumi menjadi apa yang mereka mau. Tinggalkah aku sendiri menangis dan merengkuk tanpa daya. Ingin rasanya aku mencegah mereka menebangi pohon-pohon di hutan atau memaksa mereka menanam kembali pohon-pohon baru, tapi apa dayaku??? Ingin rasanya aku berkacak pinggang mempertahankan hamparan sawah yang luas dengan kicauan burung, suara jangkrik dan nyanyian kodok, tapi apa dayaku??? Ingin rasanya aku menghajar mereka yang sembarangan melempar sampah ke kali dan memaksa mereka membersihkan sampah-sampah yang membendung, tapi apakah dayaku??? Ingin rasanya aku mempertahankan lapangan rumput tempat aku dan anak-anakku menghabiskan waktu sorenya dengan bermain gembira, tapi apakah dayaku??? Seandainya aku punya daya, maka akan kubeli bumi ini, kujadikan asri dan lestari demi kelangsungan hidup generasi di bawahku kelak.
Tapi apa dayaku????
Aku lemah tak berdaya. Aku pecundang, bodoh dan cacat. Aku hanya bisa menangisi kehancuran alamku pada tempat persembunyianku. Aku hanya berani mengungkapkan kepedihanku pada goresan naskah ini. Semoga suatu saat akan tampil orang-orang yang lebih berani untuk menyuarakan kepedihannya, untuk membangkitkan para pecundang bodoh seperti aku agar mampu berteriak lebih keras.
Selamatkan bumiku....
No comments:
Post a Comment